Rabu, 09 Desember 2015

Playon, Antologi Puisi F. Aziz Manna Pemenang Sayembara Penulisan Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur 2015








PUISI, EKSPRESI ESTETIK, DAN RUH BUDAYA JAWA TIMUR

            Dalam Sayembara Penulisan Puisi Tahun 2015 ini, setelah melalui proses pendataan administratif pada Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), ada enam belas manuskrip kumpulan puisi yang kami terima, dan siap untuk diseleksi dan ditentukan pemenang terbaiknya. Juri Sayembara Penulisan Puisi terdiri atas Tjahjono Widarmanto, Nanang Suryadi, dan I. B. Putera Manuaba. Berdasarkan data yang ada, para penyair yang ikut sayembara berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, dan mereka semua relatif masih berumur muda. Penyair Bangkalan dan juga Malang adalah yang paling banyak mengikuti sayembara dalam tahun ini. Ini prestasi yang cukup membanggakan dilihat dari kuantitas produktivitas karya puisi.
Geliat kreativitas puisi penyair dari dua daerah itu sangat potensial. Kendati memang realitas teks puisinya cenderung masih dalam proses meniti menuju kematangannya. Ke depan kami harapkan tumbuh menjadi penyair-penyair yang handal. Selain dua daerah itu, ada juga penyair dari Gresik, Lamongan, Situbondo, Sumenep, Banyuangi, dan Sidoarjo. Semua daerah yang disebut itu menjadi “kantong-kantong” penyair muda Jawa Timur, yang tentu saja ke depan kami harapkan terus berproses menuju kematangan puisi-puisinya.
            Secara keseluruhan dapat kami beri catatan, manuskrip kumpulan puisi yang dapat diikutkan dalam Sayembara Penulisan Puisi ini mensyaratkan karya-karya yang baru. Dalam arti, karya-karya puisi belum pernah dipublikasi dalam buku kumpulan puisi. Secara umum juga dapat kami katakan, dari hasil proses pembacaan, keberadaan manuskrip karya-karya puisi yang ada memang sangat variatif dilihat dari tingkat proses kreatifnya. Kendati tidak disertakan proses kreatifnya dalam manuskrip, namun melalui puisi-puisi yang ada kami dapat menyimak bagaimana tingkat proses kreatif dari para penyair yang ikut sayembara ini. Proses kreatif mereka memang sangat bervariasi, ada yang dari baru berproses menulis puisi sampai yang sudah sering teruji dalam publikasi media.
Pengalaman berkarya (menulis puisi), keseringan mengasah menulis puisi, memang kentara dan mewarnai dalam kualitas puisi-puisi para penyair yang ikut sayembara. Bagi yang baru menulis, banyak yang masih baru dalam taraf mencari bentuk puisi, masih perlu memperbaiki bahasa puisi, dan sampai pada bagaimana harus mengekspresikan puisinya. Pada penyair yang cukup berpengalaman, memang tampak sudah tak terkendala dalam penulisan puisi. Sebagian penyair ini sudah begitu lihai, sudah memiliki infrastruktur menulis puisi, sehingga ia tinggal mematangkan dan memfokus puisinya pada pendalaman temanya.
Apabila kami cermati dari keikutsertaan penyair dalam sayembara tahun ini, peta kepenyairan di Jawa Timur ke depan tampak sangat menjanjikan. Jawa Timur tampak tidak kering dari penulisan puisi. Tinggal bagaimana menggodok menuju kualitas kematangannya. Untuk itu, tentunya perlu ada tradisi kontinyuitas berkarya, yang tidak pupus, dan dengan tetap membarakan api semangat berkarya. Bukankah sebuah kota yang berperadaban, akan ditandai dengan hadirnya karya sastra para sastrawan?
            Kemudian, berkait dengan proses seleksi, dalam seleksi Sayembara Penulisan Puisi tahun ini, ada dua kriteria utama yang digunakan sebagai dasar seleksi untuk nenentukan pemenang manuskrip Sayembara Penulisan Puisi terbaik oleh Dewan Juri,  yakni: pertama, teknik penyajian yang total-utuh-koheren tentang karya puisi; dan kedua, tema utama puisi dalam tahun ini yakni tentang budaya Jawa Timur. Atau, dalam bahasa yang teoretis, bisa juga dikatakan, penjurian dilihat dari: kualitas estetik dan ekstraestetiknya.
            Berdasar atas dua kriteria utama tersebut, manuskrip kumpulan puisi yang dipandang paling memenuhi kriteria utama itu adalah manuskrip kumpulan puisi berjudul “Playon” karya F. Aziz Manna. Dalam penentuan manuskrip “Playon” sebagai karya terbaik, kami tidak memerlukan perdebatan yang panjang, pertemuannya sangat singkat. Oleh karena, ketika kami bertemu untuk merapatkan pemenang sayembara pada Selasa 17 November 2015, masing-masing juri sudah membawa dan menentukan nama yang sudah persis sama berdasarkan hasil pembacaan atas seluruh manuskrip kumpulan puisi yang masuk dan diterima masing-masing juri. Kami, tiga juri, sepakat memilih “Playon” sebagai karya terbaik. Ini pengalaman menjuri yang sangat istimewa, sebagai sebuah penilaian yang sangat objektif. Sebab, kami (ketiga juri), memiliki penilaian yang sama. Hasil penjurian yang merekomendasi “Playon” sebagai pemenang seleksi Sayembara Penulisan Puisi, kemudian diputuskan oleh Dewan Kesenian Jawa Timur sebagai pemenang Sayembara Menulis Puisi untuk tahun ini.
            Manuskrip kumpulan puisi “Playon” karya F. Aziz Manna memiliki kualitas terbaik di antara manuskrip-manuskrip kumpulan puisi yang baik lainnya. Manuskrip kumpulan puisi “Playon” ini kebetulan ditulis oleh penyair yang memang sudah memiliki banyak pengalaman menulis puisi, jam terbang yang banyak dalam menulis puisi. Penyair yang lahir di Sidoarjo pada 8 Desember 1978 dan kini tinggal di Sidoarjo ini, memulai debut kepenyairannya ketika ia bergabung dan aktif di komunitas Teater GAPUS Unair dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP). Karya-karyanya terkumpul dalam Antologi Penyair Jawa Timur "Permohonan Hijau" (Festival Seni Surabaya, 2003-2004), Antologi Penyair Tiga Wilayah Festival Mei (Forum Sastra Bandung dan Institut Nalar Jatinangor, 2005), Rumah Pasir (Festival Seni Surabaya 2008), Lelaki Tak Bernama (Dewan Kesenian Lamongan, 2008), “What`s PoetryForum Penyair Internasional Indonesia (Henk Publica, 2012), "Sirkus Sastra" Bienalle Sastra Salihara, 2013, “Tasbih Hijau Bumi” (Lesbumi NU Jawa Timur), serta “Tiang Tegak Toleransi” (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, 2015). Beberapa buku puisi tunggalnya seperti Kumelambungkan Cintaku (GAPUS, 2003), "Izinkan Aku Menciummu" (Gapus, 2006), Wong Kam Pung (FSS 2010), Siti Surabaya dan kisah Para Pendatang (Diamond Publishing 2010), Tanggulendut (Satu Kata, 2013), serta Siti Surabaya: Sebuah Puisi Epik (Garudhawaca, 2014).
Teknik penyajian puisi (estetik karya) yang digunakan dalam 54 puisi yang terhimpun dalam  kumpulan puisi “Playon” ini, kami nilai telah disajikan dengan matang. Ini mungkin karena penyair sudah sangat terbiasa dan terasah menulis puisi. Manna seperti sudah tak terkendala lagi dengan soal bahasa puisi, pemilihan diksi, dan penataan tipografi puisi. Puisi-puisinya memang menggunakan penyajian gaya esai, namun puisi-puisinya terasa tetap mempertahankan kepuitisannya, tak keluar dari hakikatnya sebagai karya puisi. Judul-judul puisi yang rata-rata singkat, tampak menjadi diksi-diksi yang diakrabinya.
Kendati dirangkai dalam bentuk esai, puisi-puisi yang terhimpun dalam “Playon” ini, antara baris yang satu dengan yang lainnya, juga masih koheren. Bahkan, terkadang Manna menyelipkan larik kunci yang sarat pesan, misalnya dapat disimak dalam salah satu bagian petikan teks berjudul “Jumpritan”: /kami yang lengah dan menyerah jadi santapan setan//.
Satu hal yang juga jadi perhatian, dalam keseluruhan puisi, tak ditemui ada kesalahan penulisan bahasa, dan juga tidak ada teknik atau penanda apa pun yang dihadirkan tak beralasan. Semua tampak padu dan utuh sebagai sebuah puisi yang matang itu tadi. Kata-kata, diksi, dan frase yang digunakan, tampak sangat lekat dan mendukung ekspresinya. Tak nampak ada kata yang mubazir, dan juga kata-kata sepertinya dipilih sesuai dengan intensitas makna kata yang diinginkan sehingga sangat mendukung estetika karyanya.
Permainan gaya bahasanya juga variatif, membuat puisi hadir cukup memikat. Untaian kata-kata yang ada dalam puisi-puisi Manna sangat mengalir, beberapa puisinya ibarat alunan dendang musik yang multiinterpretatif. Ini dapat disimak misalnya pada salah satu cuplikan bagian puisi “Ngupil”: /serupa arkeolog muda penuh gairah aku disengat goda, ditantang tualang. dinding-dinding berlendir dan licin. debu dan angin. melecut nyali ciut. cakar kekar, singkal dempal, titis sigap beradu tepat//.
Puisi-puisi yang ditulis Manna ini juga tampak sangat kaya dengan metafora, yang membuat puisi menjadi lebih hidup dan tidak vulgar dalam menyampaikan pesan atau mengekspresikan ruh budaya. Bahkan, hampir dalam keseluruhan puisinya Manna dengan cekatan memainkan metafora itu secara proporsional, sehingga puisi terasa lebih bertenaga dan tentu menyembunyikan banyak makna. Tidak hanya metafora, puisi-puisinya juga diwarnai analogi-analogi yang mendukung, yang juga sama-sama berfungsi menghidupkan puisi, dan menjadikan puisi terasa estetis.
Teknik penyajian puisi lainya yang kemudian membuat puisi ini menjadi unggul, karena Manna mampu menata puisi-puisinya dalam komposisi yang memperlihatkan bagaimana budaya itu dari waktu ke waktu. Kalau disimak dari kelompok puisi bagian pertama hingga keempat, nampak ditata sesuai dengan perkembangan waktu (zaman). Dalam arti, membaca kelompok puisi ini, pembaca seperti diajak mengenali budaya Jawa Timuran dari sisi yang tradisional (rural culture) sampai sisi yang perkotaan (urban culture). Apabila kelompok puisi pertama dan kedua sangat kental dengan permainan budaya tradisi,  bagian ketiga dan keempat terasa masuk pada budaya urban. Manna mencoba menggambarkan seluruh permainan budaya Jawa Timur seperti itu dan sekaligus mewarnainya dengan ruh budayanya.
Di dalam puisi-puisinya, Manna banyak mengungkap permainan tradisional budaya Jawa Timur. Manna seperti mengajak pembaca untuk masuk ke alam tradisi dan sekaligus mengikuti dinamikanya sampai ke permainan masyarakat urban. Ruh budaya Jawa Timur disajikan dengan halus, terbungkus dalam diksi-diksi yang menyiratkan permainan budaya Jawa Timur, dan diekspresikan dalam untaian bait-bait puisi yang disusun dengan gaya esai. Budaya Jawa Timur begitu bebas diungkap dalam puisi-puisinya, sebebas permainan tradisi itu dimainkan. Manna cukup mampu menyelami budaya Jawa timur dari tradisi hingga ke urban. Kehadiran puisi-puisi yang mengungkap tentang permainan budaya Jawa Timur ini jadi menarik di tengah realitas masyarakat saat ini.
Di tengah arus globalisasi sekarang ini, yang dibanjiri dengan permainan global, puisi-puisi ini seperti kembali hadir dari pengasingannya dan memperkenalkan kekayaan budaya yang telah lama tak terperhatikan dan mungkin tak banyak dikenali lagi--terutama oleh anak-anak sekarang. Begitu banyak permainan yang kita miliki namun tak pernah pula diakrabi lagi oleh anak-anak kita. Puisi-puisi Manna yang mengangkat satu kekayaan budaya permainan budaya Jawa Timur ini, menjadi penting artinya. Permainan tradisional dalam budaya Jawa Timur, menyimpan banyak nilai hidup, pesan moral, dan juga manfaat bagi tumbuh-kembangnya generasi masyarakat yang berbasis nilai kearifan lokal.
Dilihat dari judul-judul puisi karya Manna, yang diambil dari diksi-diksi budaya Jawa Timur, sebagian besar kata-kata yang digunakan dalam “Playon” ini mungkin terasa asing di telinga anak-anak sekarang. Di antaranya ada kata-kata: “Jumpritan”, “Paku”, “Ngupil”, “Contong Bolong”, “Petak Umpet”, “Tuding”, “Dadu”, “Kekean”, “Jahit”, “Dongeng Kancil Lumajang”, “Pawon”, “Layangan”, “Jengkah”, “Playon”, “Cacingan”, “Suket Tarung”, “Balon”, “Endog-endogan”, “Mimis Ketapel”, “Sinau”, “Cubling-cublingan”, “Pasara”, “Remian”, “Bendan”, “Lompat Tali”, “Enthung Uler Jedung”, “Telepon Kaleng”, “Pikatan”, “Kitiran”, “Jaran Debok”, “Ngasak”, “Bakar Sampah”, “Keret”, “Luncur”, “Ngaso”, “Matung”, “Nyethe”, “Ngopi”, “Kopi Walik”, “Petan”, “Piatu”, “Kambangan”, “Ziaroh”, “Oncoran”, “Merconan”, “Mungar”, “Kerokan”, “Nyuci”, “Engkle”, “Gapangan”, “Kothekan”, “Kidung Kudang”. Penyair Manna nampak sengaja memunculkan nama-nama itu. Semua nama-nama (permainan) budaya Jawa Timuran itu, perlu dikenali, karena di dalamnya tersimpan kearifan budaya, yang perlu diinternalisasi oleh anak-anak untuk membangun kepribadian yang berbudaya.
Kehadiran puisi-puisi yang mengungkap roh budaya (permainan) budaya Jawa Timur ini jadi penting kalau dikaitkan dengan gerakan dan semangat pelestarian budaya. Anak-anak tidak hanya harus mengenali, tetapi juga mengakrabi budayanya, agar mereka benar-benar tumbuh dari akar budayanya, sehingga mereka memiliki landasan budaya yang kuat. Jangan sampai pemilik budaya menjadi asing dengan budayanya sendiri.  
Sebagai akhir dari catatan ini, kami (Dewan Juri) berharap semoga kreativitas menulis puisi para penyair tidak terhenti dalam batas hanya pada mengikuti Sayembara Penulisan Puisi. Menulis puisi agar dijadikan sebagai suatu kewajiban pada diri penyair. Namun demikian, sayembara tentu saja juga sangat penting artinya dan perlu dilakukan setiap tahun karena dapat menstimulus lahirnya penyair-penyair baru dan sekaligus memberi kesempatan untuk menampilkan karya-karya terbaiknya. Sebagai penyair, ia perlu memiliki kepedulian, dan mau melibatkan diri dalam masyarakat dan budayanya. Penyair juga memiliki tanggung jawab moral dalam menyelami kehidupan, melakukan kontemplasi atas kehidupan, menyuarakan kebenaran, dan turut berperan serta dalam menyumbangkan karya kreatifnya guna memberi pencerahan hidup secara terus-menerus kepada masyarakat. Semoga ke depan lahir karya-karya puisi yang semakin berkualitas dan bermanfaat.


Juri Sayembara Penulisan Puisi

I. B. Putera Manuaba
Ketua

Jumat, 27 Juni 2014

BUKU PUISI EPIK SITI SURABAYA

Seluruh petualangan Siti Surabaya/Surabaya Siti, paling tidak segala verbal adventures-nya, masuk dalam food processor atau tabung jam pasir untuk diproses/digiling dan dilorot lorong-sempit-waktu, sehingga meneteskan hikmah. Dan hikmah tidak harus menunggu sampai simpulan di bait akhir, justru di tengah proses dan lorong sempit waktu hikmah itu menetes-netes sepanjang petualangan:
Siti Surabaya = Surabaya Siti (plesetan dari City), bisa kota bisa perempuan, bisa warisan bisa obralan, bisa pesta bisa kuburan. Siti dan City bertarung bertukar, seperti dalam kiasan wayang: mencolo putro mencolo putri, loncat sana loncat sini. Bajing loncat bukan sekadar kiasan kriminal tetapi juga kiasan dinamika manusia urban. Dan pilihan ke modernisme harus menanggung takdir anti-kemapanan, paradoksal, kontroversial, provokatif, subversive, atraktif. Sebagaimana wujud seni kontemporer: sebagai bentuk komentar sosial yang mengkonfrontasi publik dengan apa yang tidak mereka ketahui, atau dengan apa yang sebenarnya diketahui tetapi tidak mereka harapkan.

(Akhudiat, Penyair, Dramawan, Peserta Iowa International Writing Program Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat 1975)

Minggu, 02 Maret 2014

Poetry Slam

Beginilah cara saya membaca puisi dalam ajang Poetry Slam yang digelar Goethe Institut dalam rangka memeringati 10 Tahun Seri Puisi Jerman di Selasar Sunaryo Art Space Bandung, 18 Februari 2014.






Karya F. Aziz Manna
Generasi 90

mencintai cinta seperti tak menyintainya, memimpikan mimpi seperti tak memimpikannya, mengharap harapan seperti tak berharap, dan mereka datang seperti tak pernah datang

kami tumbuh di era 90, dimana pikiran digembalakan serbuk kapur, penggaris kayu panjang, dan papan tulis hitam, gunung, awan, burung, sawah, kelokan jalan, seragam, dunia memaksa kami melangkah pada jalan yang begitu susah, tangan pemberi dan pembeli tak ada bedanya, langkah pencari dan pencuri begitu kembar detaknya, mimpi jadi begitu buruk, dia yang bersinar dan menyimpan sejuta bayangan, harapan jadi layang-layang di tengah topan

mencintai cinta seperti tak menyintainya, memimpikan mimpi seperti tak memimpikannya, mengharap harapan seperti tak berharap, dan mereka datang seperti tak pernah datang




Paul Celan
Fuga Maut

Susu hitam dini hari kami reguk saat senja
kami reguk siang dan pagi kami reguk malam
kami reguk dan reguk
kami gali kuburan di udara di sana orang berbaring tak berdesak
Seorang laki tinggal di rumah ia bermain dengan ular ia menulis
ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete
ia menulisnya dan berjalan ke luar
dan bintang berkelip ia bersuit memanggil herdernya
ia bersuit memanggil Yahudinya dan menyuruhnya menggali kuburan di tanah
ia perintah kami ayo mainkan irama dansa

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk pagi dan siang kau kami reguk senja
kami reguk dan reguk
Seorang lelaki tinggal di rumah dan bermain dengan ular ia menulis
ia menulis ke Jerman kala senja tiba rambutmu kencana Margarete
Rambutmu kelabu Sulamith kami gali kuburan di udara
di sana orang berbaring tak berdesak

Ia menghardik yang sini sekop lebih dalam yang sana ayo bernyanyi dan bermusik
dihunusnya pentungan besi dari ikat pinggang dan dibabitkan matanya biru
yang sini sekop lebih dalam yang sana ayo teruskan irama dansa

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk siang dan pagi kau kami reguk senja
kami reguk dan reguk
seorang lelaki tinggal di rumah rambutmu kencana Margarete
rambutmu kelabu Sulamith ia bermain dengan ular

Ia menghardik ayo mainkan maut lebih merdu
maut adalah maestro dari Jerman
ia menghardik gesek biola lebih kelam
maka membumbunglah kalian sebagai asap ke udara
dan kalian akan punya kuburan di awan di sana orang berbaring tak berdesak

Susu hitam dini hari kau kami reguk malam
kau kami reguk siang maut adalah maestro dari Jerman
kau kami reguk senja dan pagi kami reguk dan reguk
maut adalah maestro dari Jerman matanya biru
ia kenai kamu dengan timah peluru kenai kamu tepat sekali
seorang lelaki tinggal di rumah rambutmu kencana Margarete
ia suruh herdernya mengejar kami ia hadiahi kami kuburan di udara
ia bermain dengan ular dan bermimpi maut adalah maestro dari Jerman

rambutmu kencana Margarete
rambutmu kelabu Sulamith

Margarete = nama perempuan Jerman
Sulamith = nama perempuan Yahudi
Fuga = istilah musik. Teknik komposisi dengan tema pokok yang divariasi dengan tema-tema sampingan. Dalam bahasa Latin “fuga” berarti  “pelarian diri”.

Kamis, 02 Januari 2014

Musikalisasi Puisi Percakapan dalam Lumpur

Video ini adalah musikalisasi puisi saya berjudul 'Percakapan dalm Lumpur' yang digubah oleh kelompok musik Sarasvati asal Bandung. Gubahan ini sempat ditampilkan dalam ajang Bienalle Sastra Salihara bertajuk 'Sirkus Sastra' di Komunitas Salihara Jakarta pada Oktober 2013.






Percakapan dalam Lumpur


ketika badai hujan menerpa, kau tak perlu sembunyi, tak perlu menggali, hujan tak akan menggedor dengan lembing gelegarnya di atas genting, pintu, dan jendela, bukankah tak ada itu semua di rumah, hujan hanya merembes dan mengusap, seperti sapu tangan yang menyesap keringat dan sisa isak, kau tak perlu berteduh, tak perlu, matahari selepas badai tak akan mampu membakarmu, lengan apinya tak akan mencapaimu, dia akan padam dibiakkan rerumput dan bebatuan, hanya menguapkan bebintik lembab jadi hangat, seperti pelukan, tapi mengapa kami tak bisa melihat apa-apa, ibu, apakah mata kami buta, ataukah dunia gelap gulita, pandangan bisa menipu, bisa menipu, dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang rimbun pohonan, kami tak lagi bisa mendengar, ibu, seluruh suara telah kehilangan telinga, dengarlah dengan pikiranmu, dengan pikiranmu dengarlah: bulan hitam menggelinding dihembus angin, beburung berayunan di bebayang  rimbun pohonan, pikiran, dimana pikiran kami, ibu, dimana kami temukan pikiran, mata yang tak melihat, telinga yang tak mendengar, ini kelapa bukan kepala, ibu, dunia ini tak seperti dunia itu, dengarlah dengan pikiranmu jangan dengar pikiranmu dan lihatlah dunia baru di mana bulan hitam menggelinding dihembus angin, burung berayunan di bebayang rimbun pohonan 

Musikalisasi Puisi Di Muka Candi

Musikalisasi puisi saya berjudul 'Di Muka Candi' gubahan kelompok Splendid Dialog asal Malang.Gubahan ini sempat dipanggungakn di Gedung Cak Durasim Surabaya 23 Desember 2013 dalam acara peluncuran buku pilihan Dewan Kesenian Jawa Timur. Salah satu buku pilihan itu ialah himpunan puisi saya 'Tanggulendut'. 




Di Muka Candi

mendung kian tebal tapi kemarau kian panjang, lumpur tak kenyal tak jua mengkal, bharada, kendimu telah pecah, garis airmu meliar tak tentu arah, membuat peta tak lagi terbaca, kertapati, sang kilisuci yang lahir kembali, mengapa masih ada goda dari kesunyian goa garba, bukankah langit dan bumi tak bisa dipisah, tak bisa dipegang berat sebelah dan kalian paranata, mengapa hanya terdiam mendengar jerit sejarah, lihatlah, bandul itu telah menemu titik awalnya, tangis tumpah

Jumat, 21 Januari 2011

Siti Surabaya and the Story of Immigrant


Struggle of Poor Family in Industrial City Surabaya developed into a city of commerce and industry. The development brings tertinggalnya excesses, especially in the marginalized of prosperity. Surabaya development of the beautiful region displayed a strong market town in the anthology of poems by Aziz F Manna, "Siti Surabaya and Acts of the Immigrants". 

Director of Masters in Literature and Cultural Studies Faculty of Humanities University of Airlangga Diah Ariani Arimbi explain, Siti shows the meaning of women or land. Aside from being a woman, to Surabaya before 1930, Aziz featuring the beautiful land and natural and beautiful.

The Struggle of poor family in industrial city. However, the development as a cause of excess industrial city of marginalization of the poor. On behalf of economic development and acceleration, there was stress in the working class, garbage after the new year party for instance, and the street community. Therefore, the poems called Aziz Diah as ekokritik. Aziz does not just look at the problem of the city, but also the effects of urban life that appears. Novelist and literary scholar, Tjen Marching Soe, adding, Aziz's poems display Surabaya, both from the point of its citizens as well as people outside Surabaya.

Not only the names of places in Surabaya which shows kesurabayaan, other elements such as Dolanan children and vituperation (pisuhan) kentrung jancukan colors poems Aziz. The Struggle of poor family in industrial city. According to Aziz, who graduated from the History Department, Airlangga University, Surabaya, such as maps that remove the lines themselves. Spatial planning and regional (spatial planning) has been made, but ultimately violated.

Surgery books are packed Surabaya Culture Exhibition 2011 was held in cooperation Master Program Literature and Culture Studies Unair FIB, the Forum of Foreign Literature and Art Studies fences, and the Community Theatre Gapus. Before surgery books, theater staged "dress rehearsal" of Community Theatre with director Dheny Gapus Jatmiko. In addition, sung also jula-juli Aziz adapted from a poem entitled "More". The Struggle of poor family in industrial city.

These performances are also held in late February 2011 in Malang, Madura, Yogyakarta, Bandung and Jakarta.*